Friday, August 23, 2019

#thejourneyoflife : Nyatanya Dalam Susah Senang Hanya Tuhan yang Selalu Hadir

Hai, ini aku yang lagi terpuruk-terpuruknya mencoba menyalurkan semua emosi negatif lewat tulisan karena kalau bikin video terlalu ribet malah bikin stresnya bertambah. Salam!

Judul diatas terpikir sesaat setelah aku selesai teriak-teriak benar-benar TIDAK jelas dan mau nangis, cuma air mata pun kayanya terlanjur bosan muncul. Keseringan mungkin katanya. Lalu rekamin video nyanyi ala kadarnya yang liriknya kira-kira begini;

"Kubawa korban syukur, ke tempat KudusMu Tuhan, hatiku limpah dengan syukur sebab Tuhan baik. Selamanya~"

Dan aku tiba-tiba ingat, iya ya. Tuhan MEMANG selalu baik. Mau kemarin, hari ini, besok, selamanya. Rute hidupku sekarang mirip kaya visualisasi detak jantung di layar monitor film-film Hollywood, tapi disaat tokohnya sekarat, hampir mati. Semangatku sebentar-sebentar naik tinggi menjulang, sedetik kemudian meluncur jauuuh ke bawah. Terjun bebas. Terus datar, datar, datar, naik lagi, datar lagi, turun lagi bertingkat-tingkat. Benar-benar kacau. Hari ini tadi bisa dibilang rangkaian puncaknya (meski puncaknya pasti akan tetap banyak) aku ga tahan untuk teriak. Harus teriak sampai kepalaku sakit. 

Satu-satunya hal yang bikin tetap sadar, tetap waras adalah karena aku tahu, Tuhan Yesus ada. Aku cuma masih di fase abu-abu ini. Fase paling kubenci. Mau lompatin tapi ga mungkin dan masalah kali ini bukan jenis masalah yang akan selesai seiring waktu kaya patah hati. Benar-benar menguras semua pengertian, pemahamanku tentang hidup yang tidak sekedar hidup ini.

Tapi Tuhan kemarin bilang untuk jangan takut, percaya saja. Hari ini juga Tuhan bilang tetap bertekun dalam kesukaran. Tuhan Yesus satu-satunya yang bikin aku masih terjaga.


Ditulis pada tanggal : 04/08/2019
Pukul : 19:51

Wednesday, January 9, 2019

Life of a 27 Me

27.
Not a girl, not yet a woman.
Tapi lebih kepada 'woman' than 'girl'. Bisa dibilang on progress loading to a women about 70%.
10 tahun lalu -- yang artinya usia sekitar 17-- kira-kira kelas XII SMA, impian yang mampir ke saya hanya agar punya kulit lebih mulus dan cerah. Bebas dari minyakan dan jerawat. Terwujud sih, tidak lupa ditambah dengan gemukan juga :D

I'm married now and having my own job. Saya ga lagi merasa ga enakan kalo jawab pesan seseorang cuma 'Ok' atau 'Iya'. Ga lagi merasa kalau ulang tahun sebegitu istimewanya sampai saya tungguin beberapa hari sebelumnya, bikin resolusi macam-macam. Bisa tetap baik begini aja sudah suatu kemewahan. 
Waktu usia 17 saya pikir 27 akan sangat-sangat berbeda. Tapi ternyata struggle'nya masih sama; meragukan diri sendiri, mekhawatirkan masa depan, mempertanyakan pilihan sendiri. Tua dan dewasa ternyata memang beda. Paling-paling kalau 27 sudah ga enggan lagi ke mana-mana sendiri, makan di warung sendiri pun cuek aja. Itu aja kayanya :D

Untuk segala kekhawatiran, saya tidak pernah meragukan Tuhan. Apa yang bisa Dia perbuat, mukjizat apa yang mungkin saya terima. Yang saya ragukan adalah diri saya sendiri. Mengerikan membayangkan menjalaninya setiap hari, setiap menit, setiap waktu berharap sesuatu yang saya pun ga tau apakah akan terjadi seperti yang saya mau atau tidak. Karena kadang Tuhan kan gitu; memberi yang kita butuh, bukan yang kita mau. Saya takut usaha saya sia-sia dalam artian tidak berjalan seperti yang saya mau, karena nyatanya mau saya dan mau Tuhan ga sama. Nah kan, saya mulai meragukan diri saya!

Doa saya pun mulai berubah. Saya berdoa agar apapun yang terjadi dalam hidup saya, saya mohon Tuhan kasih kekuatan untuk menjalani prosesnya, menerima penuh kehendak Tuhan -- yang nantinya bisa jadi seperti yang saya doakan atau tidak --  serta tidak mempertanyakan keputusan Tuhan. Saya berpasrah karena tidak semua bisa saya kontrol dan Tuhanlah yang pegang penuh kendali hidup saya. Saya punya Tuhan sepenuhnya, hak absolut Tuhan atas hidup saya. 

Seperti kata Nabi Ayub, "Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang buruk? " (2:10b). 

Bahkan sebelum semua-semuanya saya pernah membaca ayat ini dan saya terngiang-ngiang sampai sekarang saya balik lagi baca. Ayub malah memuji Tuhan dalam kelemahannya. Ga marah-marah kaya saya. Ya saya marah --  meski tidak benar-benar saya teriakan nyaring-nyaring tapi saya tau di dalam hati saya sana saya benar-benar marah. Saya merasa kok sayaaaaaa terus dikasih bagian yang susah-susah sementara 5,9miliar-sekian dikasih yang gamvannng. Why always me? kalau kata Neville Longbottom. Atau sebenarnya saya hanya menolak melihat lebih banyak berkat Tuhan kasih dan saya malah berfokus pada masalah saya? 

Mungkin saya yang 37 tahun bakal ketawa baca ini, atau malah reaksi lain? Saya ga bisa prediksi. Yang saya tau Tuhan Yesus itu baik. Saya yang lemah :')


Saturday, October 28, 2017

#Flash Fiction : New Disease

It's totally a flash fiction that came to my mind while I was driving few days ago. So I decide to share it here :D 


NEW DISEASE



cr : google


Sebuah desa di wilayah paling utara negara empat musim terserang suatu penyakit paling berbahaya sepanjang. Wabah endemik yang penyebarannya sudah tak terkendali sejak menyerang salah satu keluarga beberapa minggu yang lalu membuat pemerintahan di negara ini kacau balau. Mereka meminta bantuan negara-negara tetangga namun masih saja terbatas.

Jika kita pikir wabah terdahsyat mungkin datang dalam bentuk virus atau biotik berukuran nano yang menyerang imun tubuh sehingga kegagalan sistem sekecil apapun akan berdampak mengerikan, maka tidak untuk yang satu ini.

Ketenangan pagi berkabut terusik gerasah gerusuh beberapa orang-orang tua yang berlarian menenteng keranjang-keranjang kayu yang dibalut serbet pudar. Mereka tergopoh bergerombol di depan pintu kayu salah satu rumah paling tua di desa itu, berdesakan berusaha masuk. 

Di satu-satunya ruang paling besar di rumah itulah mereka berdiri mengelilingi seorang anak gadis yang tampak janggal berada di tengah-tengah orang-orang yang menatapnya sambil menahan tangis dan mengatupkan tangan menutup mulut. Ia bertanya dalam alunan nada dasar kenapa mereka mengawasinya demikian. Ibu si gadis tidak bisa berhenti menangis memeluk anaknya yang paling kecil sambil terus  membaca doa-doa yang dihapalnya sejak remaja. Si gadis justru makin bingung, ia terus bersenandung riang dalam lagunya sendiri. Tidak akan jadi masalah besar seandainya ia tidak melakukan hal itu sejak tiga hari yang lalu. Terus bernyanyi dan bernyanyi tanpa merasa kantuk atau lelah sedikit pun.

Itu baru kejadian pertama. Dalam lonjakan waktu ke depan, semakin banyak warga desa yang bertingkah demikian. Mereka terus mendengar musik di dalam kepalanya berputar tanpa henti. Musik sedih, gundah bahkan jenis musik yang membuatmu ingin melompat dari bukit tertinggi. Jika kau pikir beruntunglah yang mendapat musik riang gembira, maka itulah kesalahan pertama. Jenis musik ini mengiringmu pada kehidupan fana di mana rasa sakit hanya fatamorgana. Lebih mengerikan dari sekedar tertawa, si penderita akan kehilangan rasa simpati dan empati bahkan tertawa pada kematian.

Sedangkan musik sedih, mungkin pula kau pikir akan membunuh perlahan dari dalam, tapi kenyataannya beberapa orang mampu bertahan dengannya karena pada akhirnya ia menyadari kebahagiaan tidak hanya ada di kepalamu tapi juga pada kuntum bunga yang mekar tadi pagi atau pada kibasan debu di atas sepatu.

*******


Friday, August 4, 2017

#POEM : Sungguh Aku Iri

Pic Credit : Google Image


Aku iri pada mulus kulit wanita-wanita yang kau pelototi tiap malam berganti.
Pada cekung-cekung senyum mereka yang seolah menyatakan kepemilikan atas dunia.
Sebab, nyatanya aku tidak.
Aku iri pada helai rambut warna-warni yang terkait rapi di daun telinganya seolah menyatakan besok pasti baik-baik saja.
Sebab, nyatanya aku tidak.
Runtuh kakiku bersamaan dua ketuk jarimu.
Menyapu dengan amin geliat tawa yang akhir-akhir ini enggan pulang ke wajahku.
Dihantam kepalaku oleh dua ketuk jarimu.
Menendang jauh-jauh gulungan pita bahagia duniaku.
Kau dan mereka bergelayut di tingkat nirwana yang sama.

#POEM : Antara Aku dan Kamu

Pic credit : Pinterest

Berdiri jauh di seberang lautan kau meragu.
Mengeja jengkal-jengkal detik dari jam tangan hitammu.
Mungkin, suara pertama yang terdengar adalah "mengapa?"
Atau bisa jadi juga "ada apa?"

Berdoa saja aku di sini.
Rapat-rapat mengunci mulut dan telingaku.
Kujorokkan sebundel hati yang menggeliat di bawah tulang dadaku.
Ku lempar sejauh batas samudera yang kau isi dengan segala jawaban atas "mengapa" dan "ada apa"-mu.

Aku, bayangan yang bangga saja kau sembunyikan di sudut terpojok jiwamu.
Aku, nama haram yang mati-matian kau telan dalam-dalam tenggorokanmu.
Bersandar pada satu-satunya pengertian bahwa besok matahari pasti datang.
Menghirup satu-satunya harapan bahwa apapun yang terjadi, toh langit tetap tinggi.

--
CR : 05/08/2017 19.00 WIB 
Nulis di buku Daily Report adek satu-satunya yang isinya biodata nasabah.