Tuesday, January 17, 2023

Hai Ini Aku di Usia 31 Tahun

Pada usia 10 tahunan aaku bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi remaja. Dengan dada yang tidak lagi rata, dengan model baju yang sudah menampakkan jelas gender alamiah tubuh. Ternyata hidup di tubuh remaja usia 17an tidak terlalu buruk. Kita akan bertarung dengan jerawat, tamu bulanan yang menyakitkan, nafsu makan yang meluap-luap dan emosi seperti roller coaster serta kisah cinta pertama yang pasti berakhir gagal – seperti selayaknya semua kisah cinta pertama. Tapi hal yang menyedihkan itu tidak akan mematahkan tulang karena kita tahu masa depan masih panjang.

 

Lalu, apa cerita di usia 20an? Hidup sampai pada titik layaknya bunga mekar. Segala sesuatu terlihat indah, terlihat mungkin dengan segala kemampuan yang kita punya. Rambut rapi, masalah jerawat tadi sudah sangat membaik. Hal-hal di tubuh yang dulunya kita benci perlahan dapat kita terima bahkan pantas untuk disyukuri. Untuk pertama kalinya orang-orang menolehkan kepala Ketika kita lewat menyeruak di antara orang banyak.

 

Sekarang, selamat datang usia 30an. Aku baru memahami pepatah “mata adalah jendela hati” ketika pada malam ini aku bercermin dan melihat wajahku sendiri, mataku tampak lain. Tentu aku tahu persis kenapa; hidup sudah sebegitu kejam menghajar kita dari banyak sisi. Kulit mulus sudah bukan lagi yang utama. Aku hanya ingin hidup damai, sehat dan stabil. Rasanya jiwaku sudah tersedot terlalu banyak dan menyisakan sedikit energi hanya untuk sekedar bertahan. Hanya ada keinginan – bukan lagi ambisi. Kadang aku juga mempertanyakan apakah aku sudah mengambil jalan yang tepat untuk diriku sendiri? Dan nyatanya aku masih mengkhawatirkan masa depanku, masa tuaku ketika kukira seharusnya aku sudah tidak perlu melakukannya. Aku melihat garis-garis halus di sekujur tubuh terutama di wajah sekitar mata dan dahi. Bunga di usia 20an sudah mulai memudar. Tapi aku bersyukur karena Tuhan sudah menyelamatkan dari berbagai kemungkinan kematian. Dan satu hal yang dunia ajarkan, Cinta sejati hanya akan ditemukan pada pelukan hangat ibu kepada anak-anaknya dan bagaimana Tuhan Yesus menundukkan kepala ketika nyawanya perlahan meninggalkan tubuhnya karena cinta kasih yang begitu besar bagi umat manusia. Selain itu? Hanya mitos.

 

 

Friday, August 23, 2019

#randomthought : Dialah Yesus -- Seseorang yang Mengajarkan Bukan Mata Ganti Mata tapi Tampar Pipi Kiri Beri juga Pipi Kanan

Dear reader, whoever you are-- if there's anyone willing to read this-- I alert you to DO NOT come forward if you cannot deal with anything againts your idea. 
Skip aja kalau kamu tipe yang ga suka dikritik/terima sudut pandang orang lain atau silahkan terus baca, tapi jangan menyalahkan penulis atas isi blognya SENDIRI yang kamu baca atas keinginanmu SENDIRI.

------

cr: Pinterest

Pertama kali bertemu Yesus, aku berumur kira-kira 5 tahun. Sudah TK, awal-awal tahun ajaran 1996/1997, di rumah kami yang sudah lama terjual karena "masalah hidup", di sudut lain kota. Rumahnya belum 100% selesai. Dindingnya masih batako telanjang, belum ada langit-langit dan yang paling mudah teringat adalah hawanya yang panas luar biasa setiap malam. 

Waktu itu siang, aku dan adikku selesai bermain di salah satu kamar --  cuma ada 2 kamar sih, salah satunya kami putuskan jadi semacam ruang bermain. Adikku keluar duluan, jadi aku mengikuti di belakangnya. Kamar itu ga ada pintu, cuma tirai murah yang kainnya juga kasar. Tanganku sudah terjulur berniat menyibak tirai itu, tapi kemudian aku terdiam. Mematung, kaget. Ada sesosok bayangan dari ujung kepala sampai bahu terlihat tersenyum. Rambutnya emas, kepalanya dikelilingi cahaya persis seperti lukisan di latar belakang jam dinding yang ada di rumah Tambi -- nenek dalam bahasa Dayak. Hanya beberapa detik, lalu hilang. Tidak ada perasaan apa-apa saat itu. Cuma sedikit syok, lalu layaknya anak-anak aku tetap keluar dan bilang ke Mamah barusan aku lihat siapa.

Aku tahu itu siapa. Dia Yesus. Sosok yang Mamah selalu ceritakan, sosok yang Babah --  ayahku bersikap sangaat tabu untuk dibicarakan. Haram bahasa lainnya. Besoknya aku ubah caraku berdoa di sekolah. Aku lipat tangan, padahal hari sebelumnya Babah acarkan untuk buka tangan.

------

Perjumpaanku dengan Yesus hanya satu kali itu seumur hidup sampai sekarang. Kemudian aku mulai melihat mujizat-mujizatnya satu persatu dalam rumah tangga kami. Sampai-sampai aku takut jangan-jangan "jatah" mujizatku sudah habis, soalnya aku masih perlu banyaak mujizat lagi dalam hidupku. :')
 
Lalu big question'nya adalah "Siapa Yesus" bagi banyak orang. Di Indonesia lagi heboh-hebohnya beredar video seorang pemuka agama menjelaskan tentang salib. Beliau bilang ada jin'nya. Jin kafir. Jelas reaksi semua orang terbagi dua. Pro dan kontra. Dari pihak agama beliau pun sama. Ada yang setuju atas tindak tersebut ada juga yang menyayangkan dan berharap pihak yang dihina menuntut lewat jalur hukum kaya begitulah yang kemungkinan besar mereka lakukan ketika merasa bertanggungjawab untuk membela agamanya. 

Tapi ada plot twist di sini. Persekutuan gereja memberi pernyataan resmi tidak akan menuntut. Semua orang standing applause dan ada pula yang bertanya-tanya "Kok mau-maunya?".
Itulah Yesus. Dalam diri pengikutnya.
Meski besok-besoknya si pemuka agama tersebut bilang tidak akan minta maaf karena jika minta maaf hanya akan membenarkan bahwa apa yang beliau sampaikan salah, padahal beliau hanya membeberkan kebenaran. Beliau berbicara dalam ranahnya, untuk kalangan sendiri dan beliau bilang tidak mungkin memeriksa/melarang satu-persatu jemaahnya merekam dirinya berkhotbah.

Take it or leave it. Bahkan dalam hati terkecil siapapun yang mengikuti berita ini aku yakin tahu pihak mana yang bijak, karena bahkan dalam bisikan-bisikan terkecil sekalipun yang disampaikan dari satu-orang ke orang lain tidak ada celah kebenaran dalam menjelek-jelekkan orang lain. Betul kebenaran harus disampikan. Tapi bukankah kebenaran sekalipun adalah relatif? Kita tidak sepatutnya mengklaim kebenaran versi kita pada orang lain. Sampaikan kebenaran menurutmu, biarkan orang lain menilai kebenaran itu layak bagi dia atau tidak. Kamu bilang ada ayatnya, dalilnya. Biarkan mereka baca dan menarik kebenaran miliknya. 


Jujur, aku kesal juga setelah nonton video itu. Kesal karena bisa-bisanya jutaan orang terlena dalam menjelekkan apapun disekitarnya hanya agar supaya miliknya terlihat baik. Mereka senang karena menjelekkan itu sebetulnya terasa sangat nikmat, apalagi jika diperbolehkan, dicontohkan pula oleh pemuka agamanya sekalipun dalam ranah publik. Bergejolaklah kedagingan manusia yang pada dasarnya ga perlu diajarin jahat, dia akan bertumbuh subur sendiri. Hal jelek ga perlu dipelajari, hal baiklah yang harus terus menerus dilatih.

Analoginya begini, kamu sibuk mengkritisi halaman rumah tetangga sebelah yang menurutmu kenapa mesti nanam pohon mangga padahal nanam pohon jambu lebih gampang? Atau kenapa dia biarin anaknya mandi hujan padahal itu kamu yakin bisa bikin sakit? 
Terus, apakah dengan melakukan itu pohon jambumu akan tumbuh sedangkan kamu juga ga pernah nanam apa-apa karena sibuk ngeliatin tetangga? Atau tiba-tiba halaman rumahmu jadi bagus karena kamu mengkritisi tetangga? Apa kamu pernah cari tahu mandi hujan itu ternyata ada baiknya untuk melatih tubuh anak mengatasi perubahan cuaca? Apa anakmu yang ga pernah menyetuh air hujan itu ga akan pernah sakit sama sekali? 
Can you see what I mean?

Atau begini; sekalipun iya kamu nanam pohon jambu, pohon jambumu ga akan berbuah manis begitu saja karena kamu menjelekkan pohon mangga orang lain. Pohon jambumu akan berbuah baik kalau kamu selalu merawatnya dengan sabar dan telaten. Jadi sibuklah kasih pupuk dan siram dia setiap hari. 

Kebenaran akan selalu ada ditempatnya selama kamu cari. Ga akan ke mana-mana kok. Dan kebenaranmu ga akan bertambah hanya karena kamu lihat keburukan tetangga sebelah. Sibuklah mencari kebenaranmu. 
Air di tepayanmu ga akan tiba-tiba terisi penuh karena kamu rame-rame numpahin air di tempayan orang. Airmu akan penuh kalau kamu sibuk menimbakan air ke dalamnya dengan jerih payahmu. And I read somewhere,"If your faith requires you to harm others, you should start to question it."

Dan Tuhan Yesus juga tidak berhenti-henti membuat aku terheran-heran. Yesus ajarkan, 

"Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. 
Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu."
(Matius 5:38-39)

Kayanya susaah banget untuk taat. Tapi betul melalui kejadian ini, dengan tidak membalas, justru mengampuni, orang-orang awalnya pada penasaran bagaimana bisa, lama-lama cari tahu alasannya, akhirnya pelan-pelan mengenal ajaran kasih Yesus dan aku yakin banget, saat itu Roh Kudus mulai bekerja. Itulah bedanya hasil pekerjaan tangan Tuhan. Selalu membawa damai sejahtera. 

Dialah Yesus, yang bahkan ketika diadili ga ada satupun orang-orang menemukan kesalahan dalam dia yang layak membuatNya dihukum. Yesus disalib atas permintaan orang banyak--bukan karena didapati kesalahan dalam diriNya. Pontius Pilatus yang cinta jabatan dan takut ditinggal rakyatnya kalau ga nurut sama mereka akhirnya menyiksa seseorang yang dia akui sendiri tak dia dapati kesalahannya. Itulah Yesus, yang walaupun dihakimi dan dikhianati bukan karena dosanya tapi bahkan sampai detik terakhir hidupnya yang dia doakan, yang dia pikirkan hanyalah agar kesalahan kita manusialah yang diampuni. Dan akupun sampai detik ini, kadang masih bertanya disaat sulit, mana Yesus? Padahal Dia selalu ada di sini, aku yang pergi menjauh. :')

Kemuliaan Tuhan Yesus tidak akan berkurang karena penghinaan manusia. Allah tetap dahsyat, salib tetap lambang pengorbanan dan kasih Tuhan bagi umat manusia. :)

 

#thejourneyoflife : Nyatanya Dalam Susah Senang Hanya Tuhan yang Selalu Hadir

Hai, ini aku yang lagi terpuruk-terpuruknya mencoba menyalurkan semua emosi negatif lewat tulisan karena kalau bikin video terlalu ribet malah bikin stresnya bertambah. Salam!

Judul diatas terpikir sesaat setelah aku selesai teriak-teriak benar-benar TIDAK jelas dan mau nangis, cuma air mata pun kayanya terlanjur bosan muncul. Keseringan mungkin katanya. Lalu rekamin video nyanyi ala kadarnya yang liriknya kira-kira begini;

"Kubawa korban syukur, ke tempat KudusMu Tuhan, hatiku limpah dengan syukur sebab Tuhan baik. Selamanya~"

Dan aku tiba-tiba ingat, iya ya. Tuhan MEMANG selalu baik. Mau kemarin, hari ini, besok, selamanya. Rute hidupku sekarang mirip kaya visualisasi detak jantung di layar monitor film-film Hollywood, tapi disaat tokohnya sekarat, hampir mati. Semangatku sebentar-sebentar naik tinggi menjulang, sedetik kemudian meluncur jauuuh ke bawah. Terjun bebas. Terus datar, datar, datar, naik lagi, datar lagi, turun lagi bertingkat-tingkat. Benar-benar kacau. Hari ini tadi bisa dibilang rangkaian puncaknya (meski puncaknya pasti akan tetap banyak) aku ga tahan untuk teriak. Harus teriak sampai kepalaku sakit. 

Satu-satunya hal yang bikin tetap sadar, tetap waras adalah karena aku tahu, Tuhan Yesus ada. Aku cuma masih di fase abu-abu ini. Fase paling kubenci. Mau lompatin tapi ga mungkin dan masalah kali ini bukan jenis masalah yang akan selesai seiring waktu kaya patah hati. Benar-benar menguras semua pengertian, pemahamanku tentang hidup yang tidak sekedar hidup ini.

Tapi Tuhan kemarin bilang untuk jangan takut, percaya saja. Hari ini juga Tuhan bilang tetap bertekun dalam kesukaran. Tuhan Yesus satu-satunya yang bikin aku masih terjaga.


Ditulis pada tanggal : 04/08/2019
Pukul : 19:51

Wednesday, January 9, 2019

Life of a 27 Me

27.
Not a girl, not yet a woman.
Tapi lebih kepada 'woman' than 'girl'. Bisa dibilang on progress loading to a women about 70%.
10 tahun lalu -- yang artinya usia sekitar 17-- kira-kira kelas XII SMA, impian yang mampir ke saya hanya agar punya kulit lebih mulus dan cerah. Bebas dari minyakan dan jerawat. Terwujud sih, tidak lupa ditambah dengan gemukan juga :D

I'm married now and having my own job. Saya ga lagi merasa ga enakan kalo jawab pesan seseorang cuma 'Ok' atau 'Iya'. Ga lagi merasa kalau ulang tahun sebegitu istimewanya sampai saya tungguin beberapa hari sebelumnya, bikin resolusi macam-macam. Bisa tetap baik begini aja sudah suatu kemewahan. 
Waktu usia 17 saya pikir 27 akan sangat-sangat berbeda. Tapi ternyata struggle'nya masih sama; meragukan diri sendiri, mekhawatirkan masa depan, mempertanyakan pilihan sendiri. Tua dan dewasa ternyata memang beda. Paling-paling kalau 27 sudah ga enggan lagi ke mana-mana sendiri, makan di warung sendiri pun cuek aja. Itu aja kayanya :D

Untuk segala kekhawatiran, saya tidak pernah meragukan Tuhan. Apa yang bisa Dia perbuat, mukjizat apa yang mungkin saya terima. Yang saya ragukan adalah diri saya sendiri. Mengerikan membayangkan menjalaninya setiap hari, setiap menit, setiap waktu berharap sesuatu yang saya pun ga tau apakah akan terjadi seperti yang saya mau atau tidak. Karena kadang Tuhan kan gitu; memberi yang kita butuh, bukan yang kita mau. Saya takut usaha saya sia-sia dalam artian tidak berjalan seperti yang saya mau, karena nyatanya mau saya dan mau Tuhan ga sama. Nah kan, saya mulai meragukan diri saya!

Doa saya pun mulai berubah. Saya berdoa agar apapun yang terjadi dalam hidup saya, saya mohon Tuhan kasih kekuatan untuk menjalani prosesnya, menerima penuh kehendak Tuhan -- yang nantinya bisa jadi seperti yang saya doakan atau tidak --  serta tidak mempertanyakan keputusan Tuhan. Saya berpasrah karena tidak semua bisa saya kontrol dan Tuhanlah yang pegang penuh kendali hidup saya. Saya punya Tuhan sepenuhnya, hak absolut Tuhan atas hidup saya. 

Seperti kata Nabi Ayub, "Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang buruk? " (2:10b). 

Bahkan sebelum semua-semuanya saya pernah membaca ayat ini dan saya terngiang-ngiang sampai sekarang saya balik lagi baca. Ayub malah memuji Tuhan dalam kelemahannya. Ga marah-marah kaya saya. Ya saya marah --  meski tidak benar-benar saya teriakan nyaring-nyaring tapi saya tau di dalam hati saya sana saya benar-benar marah. Saya merasa kok sayaaaaaa terus dikasih bagian yang susah-susah sementara 5,9miliar-sekian dikasih yang gamvannng. Why always me? kalau kata Neville Longbottom. Atau sebenarnya saya hanya menolak melihat lebih banyak berkat Tuhan kasih dan saya malah berfokus pada masalah saya? 

Mungkin saya yang 37 tahun bakal ketawa baca ini, atau malah reaksi lain? Saya ga bisa prediksi. Yang saya tau Tuhan Yesus itu baik. Saya yang lemah :')


Saturday, October 28, 2017

#Flash Fiction : New Disease

It's totally a flash fiction that came to my mind while I was driving few days ago. So I decide to share it here :D 


NEW DISEASE



cr : google


Sebuah desa di wilayah paling utara negara empat musim terserang suatu penyakit paling berbahaya sepanjang. Wabah endemik yang penyebarannya sudah tak terkendali sejak menyerang salah satu keluarga beberapa minggu yang lalu membuat pemerintahan di negara ini kacau balau. Mereka meminta bantuan negara-negara tetangga namun masih saja terbatas.

Jika kita pikir wabah terdahsyat mungkin datang dalam bentuk virus atau biotik berukuran nano yang menyerang imun tubuh sehingga kegagalan sistem sekecil apapun akan berdampak mengerikan, maka tidak untuk yang satu ini.

Ketenangan pagi berkabut terusik gerasah gerusuh beberapa orang-orang tua yang berlarian menenteng keranjang-keranjang kayu yang dibalut serbet pudar. Mereka tergopoh bergerombol di depan pintu kayu salah satu rumah paling tua di desa itu, berdesakan berusaha masuk. 

Di satu-satunya ruang paling besar di rumah itulah mereka berdiri mengelilingi seorang anak gadis yang tampak janggal berada di tengah-tengah orang-orang yang menatapnya sambil menahan tangis dan mengatupkan tangan menutup mulut. Ia bertanya dalam alunan nada dasar kenapa mereka mengawasinya demikian. Ibu si gadis tidak bisa berhenti menangis memeluk anaknya yang paling kecil sambil terus  membaca doa-doa yang dihapalnya sejak remaja. Si gadis justru makin bingung, ia terus bersenandung riang dalam lagunya sendiri. Tidak akan jadi masalah besar seandainya ia tidak melakukan hal itu sejak tiga hari yang lalu. Terus bernyanyi dan bernyanyi tanpa merasa kantuk atau lelah sedikit pun.

Itu baru kejadian pertama. Dalam lonjakan waktu ke depan, semakin banyak warga desa yang bertingkah demikian. Mereka terus mendengar musik di dalam kepalanya berputar tanpa henti. Musik sedih, gundah bahkan jenis musik yang membuatmu ingin melompat dari bukit tertinggi. Jika kau pikir beruntunglah yang mendapat musik riang gembira, maka itulah kesalahan pertama. Jenis musik ini mengiringmu pada kehidupan fana di mana rasa sakit hanya fatamorgana. Lebih mengerikan dari sekedar tertawa, si penderita akan kehilangan rasa simpati dan empati bahkan tertawa pada kematian.

Sedangkan musik sedih, mungkin pula kau pikir akan membunuh perlahan dari dalam, tapi kenyataannya beberapa orang mampu bertahan dengannya karena pada akhirnya ia menyadari kebahagiaan tidak hanya ada di kepalamu tapi juga pada kuntum bunga yang mekar tadi pagi atau pada kibasan debu di atas sepatu.

*******