Pada usia 10 tahunan aaku bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi remaja. Dengan dada yang tidak lagi rata, dengan model baju yang sudah menampakkan jelas gender alamiah tubuh. Ternyata hidup di tubuh remaja usia 17an tidak terlalu buruk. Kita akan bertarung dengan jerawat, tamu bulanan yang menyakitkan, nafsu makan yang meluap-luap dan emosi seperti roller coaster serta kisah cinta pertama yang pasti berakhir gagal – seperti selayaknya semua kisah cinta pertama. Tapi hal yang menyedihkan itu tidak akan mematahkan tulang karena kita tahu masa depan masih panjang.
Lalu, apa cerita di usia 20an? Hidup sampai pada titik layaknya bunga mekar. Segala sesuatu terlihat indah, terlihat mungkin dengan segala kemampuan yang kita punya. Rambut rapi, masalah jerawat tadi sudah sangat membaik. Hal-hal di tubuh yang dulunya kita benci perlahan dapat kita terima bahkan pantas untuk disyukuri. Untuk pertama kalinya orang-orang menolehkan kepala Ketika kita lewat menyeruak di antara orang banyak.
Sekarang, selamat datang usia 30an. Aku baru memahami pepatah “mata adalah jendela hati” ketika pada malam ini aku bercermin dan melihat wajahku sendiri, mataku tampak lain. Tentu aku tahu persis kenapa; hidup sudah sebegitu kejam menghajar kita dari banyak sisi. Kulit mulus sudah bukan lagi yang utama. Aku hanya ingin hidup damai, sehat dan stabil. Rasanya jiwaku sudah tersedot terlalu banyak dan menyisakan sedikit energi hanya untuk sekedar bertahan. Hanya ada keinginan – bukan lagi ambisi. Kadang aku juga mempertanyakan apakah aku sudah mengambil jalan yang tepat untuk diriku sendiri? Dan nyatanya aku masih mengkhawatirkan masa depanku, masa tuaku ketika kukira seharusnya aku sudah tidak perlu melakukannya. Aku melihat garis-garis halus di sekujur tubuh terutama di wajah sekitar mata dan dahi. Bunga di usia 20an sudah mulai memudar. Tapi aku bersyukur karena Tuhan sudah menyelamatkan dari berbagai kemungkinan kematian. Dan satu hal yang dunia ajarkan, Cinta sejati hanya akan ditemukan pada pelukan hangat ibu kepada anak-anaknya dan bagaimana Tuhan Yesus menundukkan kepala ketika nyawanya perlahan meninggalkan tubuhnya karena cinta kasih yang begitu besar bagi umat manusia. Selain itu? Hanya mitos.
No comments:
Post a Comment